Ulama besar dari Maninjau

Buya Hamka,  Ulama besar dari Maninjau



Tahun 80-an papa sering menyetel kaset ceramah Buya Hamka keras-keras. Isi ceramah sederhana dan mudah dipahami oleh anak usia 10 tahun, saya. Sekarang, tahun 2016, saya kembali mendengar ceramah tersebut dari youtube, masih teringat beberapa petikan ceramah saat kecil dulu, masih hafal gaya bicara buya dan apa yang diceritakan di dalam kaset itu, dan menjadi pencerah jiwa.
Ketika merapikan foto-foto lama, ada foto mama (dan beberapa orang lain, jamaah) bersama buya, di belakang foto tertulis, foto dengan Buya Hamka di rumah buya di dekat Mesjid Al Azhar, Jakarta. Setelah Subuh buya memberikan ceramah agama di Mesjid Al Azhar.
Saat buya meninggal, saya dan beberapa jamaah di Mesjid Nurul Haq, Bukittinggi, Salat Gaib (salah jenazah bagi seseorang yang meninggal, tapi mayit tidak berada di lokasi, tempat salat dilaksanakan, buya meninggal di Jakarta).
Buya Hamka, sosok yang banyak bakat. Ia seorang, datuk dengan nama “Datuk Indomo” (pemimpin adat, di salah satu kaum di Nagari Maninjau), ulama Minang yang digelari “Tuanku Syaikh” (berarti ulama besar yang memiliki kewenangan di dalam rapat adat dengan jabatan Imam Khatib -adat Budi Caniago). Pejuang, yang diberi gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI.
Sebagai seorang intelektual Islam, Maret 1959 Hamka mendapatkan gelar “Ustadziyah Fakhriyah” (sama dengan Doctor Honoris Causa) dari Al-Azhar University, Mesir,. Tahun 1974, gelar Doctor Honoris Causa diperoleh dari University Kebangsaan Malaysia. Seorang sastrawan tokoh pergerakan, karya novel Hamka yang terkenal, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sudah difilmkan. Seorang wartawan di Majalah Pedoman Masyarakat (Medan) dan budayawan, pandai berpidato dan merupakan tokoh Muhammadiyah.
Hamka merupakan kependekan dari Haji Abdul Malik Karim Kamarullah, ayah Hamka bernama abdul karim kamarullah. Hamka lahir di Nagari Maninjau, Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Saat Hamka berusia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang ( 17 Februari 1908). Ayahnya memimpin sekolah Sumatera Thawalib, ia belajar bahasa Arab, sastra, dan ilmu agama di sekolah ini.
Usia 16 tahun, ia merantau ke Jakarta dan bergaul dengan tokoh politik seperti, Haji Umar Said, Cokroaminoto, dan RM Suryopranoto. Setelah itu ia ke tanah suci, Mekah. Sepulang dari Mekah, ia dijodohkan orang tua dengan Siti Raham. Hamka mempunyai 10 anak.
Hamka kemudian mengembangkan pendidikan Muhammadiyah dengan ayahnya fokus pada pendidikan pendakwah, di Pandang Panjang, berkat keberhasilannya mengembangkan pendidikan Muhammadiyah, ia ditunjuk menjadi konsul Muhammadiyah di beberapa kota di Indonesia.
Kemudian Hamka merantau ke Medan, mendirikan Majalah Pedoman Masyarakat, tahun 1936, dan menjadi tokoh pergerakan nasional bersama Bung Karno dan Bung Hatta.
Hamka pindah ke Jakarta, dan menjadi di menjadi anggota Muhammadiyah pusat. Ia merupakan tokoh penting di organisasi Muhammadiyah. Tahun 1955, Hamka bergabung dengan partai politik Masyumi dan terpilih masuk parlemen, ia menjadi politikus.
Tahun 1959 ia mendirikan Majalah Panji Masyarakat di Jakarta, dalam salah satu edisi, Panji Masyarakat memuat tulisan Hatta yang berjudul Demokrasi kita (saat itu Hatta, sudah mundur dari jabatan wakil presiden), karena tulisan itu, Majalah Panji Masyarakat dibredel, Soekarno.
Kegiatan politik Hamka berseberangan dengan Soekarno (yang dulu menjadi teman seperjuangan di masa kemerdekaan). Hamka dtahan atas perintah Soekarno selama 2 tahun 4 bulan, 1964-1966, dengan tuduhan melanggar undang-undang Anti Subversif Pempres No. 11, yaitu tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Selama ditahanan Buya Hamka menyelesaikan tafsir Al Azhar. Sebelum Soekarno meninggal, ia berpesan, agar meminta kesediaan Buya Hamka menjadi imam salat jenazah. Permintaan tersebut dipenuhi Buya Hamka. Buya Hamka menjadi imam salat jenazah Soekarno di Wisma Yoso.

0 komentar: